Oleh: Rian Sulistio, S.H.

(Calon Hakim Pengadilan Negeri Purbalingga)

 

            Persidangan adalah rangkaian proses dan tata cara pemeriksaan perkara di pengadilan. Persidangan harus dijaga marwah dan martabatnya, karena persidangan yang dipimpin oleh Majelis Hakim adalah perbuatan yang tidak hanya dipertanggungjawabkan kepada hukum, para pihak, masyarakat umum, dan diri seorang hakim, tetapi juga dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Karenanya, hakim adalah profesi yang unik dan mulia, satu-satunya profesi yang mencantumkan kalimat irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam lembar kerjanya berupa putusan.

            Seorang Hakim atau Majelis Hakim yang memimpin jalannya persidangan memegang peranan penting karena sebagai figur sentral dalam proses peradilan. Meski demikian, hakim bagaikan ikan dalam aquarium, ia harus menjaga ketat dalam menegakkan 10 Nilai Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) baik dalam maupun luar kedinasan atau minimal mengejawantahkan Panca Brata Hakim yang terdiri dari Kartika (percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa), cakra (mampu memusnahkan segala bentuk kedzoliman dan ketidakadilan), Candra (Bersifat bijaksana dan berwibawa), Sari (Berbudi luhur dan berkelakuan tidak tercela), dan Tirta (Jujur) dalam laku kehidupannya.

            Persidangan adalah arena sakral, karena mekanisme yang dipimpin oleh Hakim Tunggal atau Majelis Hakim adalah bagian yang tak terpisahkan dari diri seorang hakim yang dapat dikatakan merupakan perpanjangan tangan Tuhan. Hakim kerap dianggap sebagai wakil Tuhan di dunia, karena atas dasar tugas perintah jabatannya yaitu mengadili yang berarti menurut Pasal 1 Angka 9 KUHAP bahwa “mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”

            Pada konteks mekanisme persidangan di pengadilan terdapat 2 jenis mekanisme persidangan yaitu terbuka untuk umum dan tertutup untuk umum. Perbedaan mendasarnya adalah bahwa persidangan yang dilakukan secara tertutup untuk umum adalah untuk perkara yang mengenai Terdakwanya adalah anak (penyebutan dalam SPPA adalah Anak Berhadapan dengan Hukum) dan perkara yang mengenai kesusilaan sebagaimana Pasal 153 KUHAP menyebutkan bahwa “Untuk keperluan pemeriksaan, hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak.” dan secara khusus juga diatur dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) yang menyatakan bahwa “Hakim memeriksa perkara Anak dalam sidang yang dinyatakan tertutup untuk umum, kecuali pembacaan putusan.”

            Urgensitas atau pentingnya mekanisme persidangan yang dilakukan secara terbuka atau tertutup adalah menyangkut kekuatan putusan hakim setelah diucapkan. Tidak semua perkara pidana dinyatakan terbuka untuk umum. Teruntuk perkara tertentu, Hakim atau Majelis Hakim menyatakan bahwa sidang dibuka dan tertutup untuk umum. Jika ketentuan ini dilanggar, maka dapat mengakibatkan putusan batal demi hukum sebagaimana ketentuan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan sebagai berikut:

Pasal 13 Ayat (1)

“Semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang-undang menentukan lain”

Pasal 13 Ayat (2)

“Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum”

Pasal 13 Ayat (3)

“Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mengakibatkan putusan batal demi hukum”

            Betapa pentingnya pemahaman mengenai sidang terbuka dan tertutup untuk umum, kembali ke prinsip tujuan hukum acara pidana yang salah satunya untuk melindungi Hak Asasi Manusia, bagaimanapun juga harkat dan martabat manusia harus dilindungi dan dihormati. Tidak mungkin kesusilaan yang seharusnya dijaga, sehingga dianggap tidak perlu dipertontonkan secara umum. Selain itu, tak kalah penting yang sebenarnya telah disampaikan pada paragraf sebelumnya, manakala adanya pelanggaran hukum acara terhadap mekanisme sidang terbuka untuk umum maupun tertutup untuk umum, maka berimbas putusan batal demi hukum yang berarti putusan dianggap tidak pernah ada sejak dinyatakan batal demi hukum.

            Seiring dengan perkembangan hukum yang ada, dalam rangka menjaga ketertiban di ruang persidangan, Mahkamah Agung RI sebenarnya telah mengeluarkan kebijakan yang secara khusus diperuntukkan untuk menjaga ketertiban, keamanan, dan wibawa persidangan salah satunya lahirnya Perma Nomor 5 Tahun 2020 Jo Perma Nomor 6 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2020 tentang Protokol Persidangan dan Keamanan dalam Lingkungan Peradilan yang secara khusus diatur dalam Bab II Tata Tertib Umum dan Tata Tertib Persidangan mengatur ketentuan mengenai sifat terbuka untuk umum, kecuali ditentukan undang-undang, pembatasan jumlah pengunjung sidang, larangan membawa senjata tajam/api, kewajiban menunjukkan sikap hormat kepada pengadilan, etika pengambilan dokumentasi, larangan makan dan minum selama persidangan, larangan membuat gaduh, masuk keluar ruangan tanpa izin, harus mengenakan pakaian yang sopan dan pantas, larangan melakukan perbuatan yang membahayakan keselamatan Hakim/Majelis Hakim, keharusan memelihara ketertiban di persidangan, dan sejumlah ketentuan lainnya yang pada intinya bertujuan menciptakan suasana yang aman bagi Hakim, Aparatur Pengadilan, dan masyarakat pencari keadilan demi terwujudnya peradilan yang berwibawa.

            Demikian halnya secara teknis dalam persidangan perkara perdata misalnya, secara tegas telah disebutkan dalam SK KMA Nomor 363/KMA/SK/XII/2022 tentang Petunjuk Teknis Administrasi Dan Persidangan Perkara Perdata, Perdata Agama, dan Tata Usaha Negara di Pengadilan Secara Elektronik pada halaman 21 huruf j yang menyebutkan bahwa Ketua Pengadilan setempat menunjuk seorang Panitera Pengganti tanpa menggunakan atribut untuk mengawasi ketertiban persidangan yang dilaksanakan dengan prasarana pada pengadilan tempat saksi dan/atau memberikan keterangan di bawah sumpah pada persidangan pembuktian dengan acara pemeriksaan keterangan saksi dan/atau ahli yang dapat dilakukan secara jarak jauh melalui media komunikasi audio visual.

            Alih-alih demikian persidangan dianggap sebagai arena sakral karena hubungannya dengan keadilan seseorang. Keadilan adalah hubungan paling mendasar antar umat manusia, dalam berkehidupan tidak dapat dipungkiri bisa terjadi adanya pelanggaran hukum ataupun benturan kepentingan antar perorangan. Oleh karena itulah lembaga pengadilan hadir sebagai jawaban atas antisipasi chaosnya tata kehidupan masyarakat atau yang kerap disebut main hakim sendiri. Dalam hal ini secara praktis, apabila terdapat permasalahan hukum atau sengketa yang ada dalam tengah masyarakat, maka diajukan ke Pengadilan.

            Beban seorang Hakim itu sangatlah berat, karena setiap orang yang berperkara di Pengadilan bergantung pada putusan Hakim. Pengadilan dianggap sebagai tempat terakhir bagi para pencari keadilan. Putusan seorang Hakim adalah cermin Pengadilan. Maksudnya, Hakim yang telah menjatuhkan putusan atas nama Tuhan dan lembaganya, berarti ia telah berusaha dalam mewujudkan keadilan yang menurut hati nurani, peraturan perundang-undangan dan keadilan yang diharapkan masyarakat. Lihatlah sejenak pemberitaan yang ada pada sosial media atau televisi dan sebagainya, betapa pentingnya putusan hakim dituntut harus benar-benar adil bagi para pihak, minimalnya memenuhi keadilan hukum (legal justice), keadilan moral (moral justice), dan keadilan sosial (sosial justice).

            Hakim dituntut harus mempunyai mata yang tersembunyi, yang artinya harus mampu melihat kebenaran yang senyatanya, keadilan yang lahir dari ketajaman mata batin atau kepekaan hati nurani. Karena bisa jadi, putusan yang telah dijatuhkan oleh Hakim Tunggal atau Majelis Hakim bisa berbanding terbalik pada kemudian hari dengan kebenaran yang ada, karena ada hal yang tidak terungkap di persidangan, dalam perkara pidana misalnya adanya kesaksian palsu dan Terdakwa tidak menyampaikan yang sebenarnya. Meskipun pada akhirnya ada upaya hukum Peninjauan Kembali, namun apalah artinya manakala Terpidana telah selesai menjalani masa pidananya. Belum lagi, dalam perkara perdata yang benar-benar harus membutuhkan prinsip kehati-hatian dan prinsip persamaan di depan hukum (equality before the law) secara berimbang kepada para pihak yang bersengketa dalam perkara.

            Kredo korps hakim adalah profesi yang sunyi adalah benar adanya. Hakim bekerja dalam 3 ruang kerja yaitu akal pikiran, hati nurani, dan meja persidangan. Tatkala hakim pulang dari kantor, ia masih dibebani tugas untuk memikirkan nasib dan hak seseorang. Akal pikirannya terus bekerja untuk terus belajar, membuka berbagai literatur bacaan dan hatinya terus berbisik kemana arah putusannya nanti. Selaras dengan hal tersebut, oleh karenanya ada sebuah pertanyaan dasar atau empat kriteria dasar bagi Hakim sebelum maupun sesudah memutuskan perkara sebagai bentuk kehati-hatian yaitu:

Benarkah putusanku?

Jujurkah putusanku?

Adilkah putusanku?

Bermanfaatkah putusanku?

            Ada beberapa etika dalam khazanah agama islam khususnya bagi seorang Hakim sebelum memutus perkara dalam kitab Fathul Qorib pada bagian kitab yang menjelaskan hukum-hukum pengadilan dan kesaksian menyebutkan sebagai berikut:

Seorang Qadhi atau hakim menjauhi, yakni makruh melakukan menqadha (memutuskan suatu hukum) dalam 10 keadaan, sebagian menurut keterangan dengan menggunakan istilah 10 keadaan, yaitu:

“Ketika sedang marah. Menurut sebagian keterangan dalam keadaan marah. Sebagian ulama berkata bahwa jika sikap marah itu mengeluarkan hakim dari konsentrasi penuh. Maka ketika hakim dalam keadaan demikian, diharamkan memutuskan suatu hukum. Dalam keadaan sangat lapar kenyang dahaga syahwat (sangat kuat, susah senang dan sakit yang parah. Menahan dua hadas, yaitu kencing dan berak. Sedang kantuk, udara sangat panas atau dingin”

Begitu juga dalam konteks kebudayaan, ada sebuah etika khusus bagi seorang hakim sebelum memutus perkara menurut budaya bugis Sulawesi Selatan. Dalam konteks adat istiadat kebudayaan Bugis Sulawesi Selatan, manakala merujuk salah satu sumber pada Kitab Lontara Wajo Abad XV-XVI suatu penggalian sejarah terpendam sulawesi selatan menyebutkan bahwa:

“Narékko engka bicara muoloi, ajaq mutimbangngi narékko engka baraq mengkaiko. Séuani cakkarudduko, Maduanna mawesso sennakko, Matellunna malupuko, Maeppana malasao, Malimanna marioko, Maennenna mabacciko, Mapitunna labuni essoé, Sorokko rioloq muannawa-nawa madécéng esso baja, esso sangadi, muoloi paimeng. Narékko baraq séunna mangkaiko ajaq muretteqi napusolangngi matuq wija-wijammu lattuq ri paddimunrinna enrengngé waramparammu, narékko temmapaccingngi muretteqi. Narékko mapaccingmui muretteqi, ianaritu riaseng bicara tongettellu. Masėmpo dalléq manengngi to ri wawamu, malampéi sungeqmu.”

Terjemahan:

Jika engkau menghadapi peradilan, menimbang apabila ada salah satu dalam dirimu. Pertama, mengantuk. Kedua, engkau terlalu kenyang Ketiga, engkau lapar. Keempat, engkau sedang sakit. Kelima, senang. Keenam, engkau sedang jengkel. Ketujuh, matahari tenggelam (senja). Mundurlah terlebih dahulu berpikir baik besok lusa, kemudian hadapi kembali peradilan. Apabila ada salah satunya dalam dirimu, janganlah memutus perkara (sebab) akan merusak keturunanmu dan hartamu, apabila tidak bersih hatimu engkau memutus perkara. Apabila hatimu telah bersih kemudian memutus perkara, itulah yang disebut peradilan tongeng tellu. Murah rezki orang dibawahmu dan panjang umurmu.

            Lebih lanjut mengenai kondisi pabbicara/pakkatenni adeq (Hakim) yang harus dihindari sebelum memulai persidangan maupun sebelum memutuskan perkara, dapat dilihat pada bagan dibawah ini sebagai berikut:

KONDISI YANG HARUS DIHINDARI SEBELUM PERADILAN

ATAU MEMUTUSKAN PERKARA

No.

Kondisi Transkripsi

Terjemahan

1 Lupu (Lapar)

Naiya riasengnge lupu, tojengngé pabbéré-béré ri to engkaé bicaranna

Adapun yang dimaksud “lapar” adalah yang menunggu pemberian dari orang yang diadili. Maksud lainnya adalah meskipun Hakim sedang mengalami keterbatasan uang atau membutuhkan uang yang cukup banyak, jangan sampai mengharapkan apalagi mendapat pemberian dari pihak yang diadili.

2 Esso (Kenyang)

Naiya riasengngé esso, méngngerangengni pappéwerreq pura lalona taué

Adapun yang dimaksud “kenyang” adalah mengingat kebaikan masa lalu (orang yang diadili) yang membuatnya berat hati/segan. Hal ini sebenarnya telah diatur dalam KUHAP maupun KEPPH sebisa mungkin Hakim harus mundur dari Majelis Hakim demi menghindari benturan kepentingan.

3 Bacci (Benci)

Naiya riasengngé bacci, naengngerangngi narékko pura sísala tavé, pura aréggi naillau tulungi natiya

Adapun yang dimaksud dengan “benci” adalah mengingat perselisihannya atau pernah meminta tolong tetapi tidak dibantu (oleh orang yang diadili). Kembali ke prinsip dasar, bahwa Hakim datang ke meja persidangan dengan membawa hati nurani dan harus memandang segala sesuatu secara obyektif.

4 Rio (Senang)

Naiya rioé, ripakarajal pabbicaraé, ripakalebbii, ripuji-pujiwi nanapojiwi aléna nallupaini ureqna bicaraé

Adapun yang dimaksud dengan “senang” adalah dihormati dan dimuliakan hakim, dipuji sehingga senang dan melupakan asas peradilan.

            Adapun masih terdapat tiga poin yang tidak terlalu dibahas yaitu meliputi:

  1. cakkaruddu (mengantuk)
  2. malaso (sakit), dan
  3. lobu esso (senja)

            Ketiga kondisi tersebut tentang mengantuk dan sakit, berkaitan dengan fisik pemutus perkara. Sedangkan senja, berkaitan dengan pemahaman orang Bugis terdahulu bahwa makhluk gaib akan turun dan dapat mengganggu manusia.

            Adapun maksud dari makna merusak keturunan dan hartamu adalah hubungan sebab-akibat dari sebuah tindakan yang tidak berintegritas, sehingga tak hanya merugikan pada nama dirinya sendiri, namun juga anak, keturunan, keluarga, hartanya, bahkan dapat meruntuhkan nama lembaga yang telah dibangun oleh para pendahulu leluhur bangsa indonesia. Lain halnya dengan cara memutus perkara memang dilandasi hati nurani yang bersih, bebas dari pengaruh dan intervensi bentuk apapun, maka secara tidak langsung banyak orang yang mendoakan, para penghuni langit dan penghuni bumi mendoakan, hingga tibalah saatnya rezeki kesehatan, kekayaan, kekuatan, dan lain sebagainya turut serta menghampiri dirinya.

            Pada akhirnya, tugas menjaga marwah dan martabat persidangan adalah tugas dan tanggung jawab bersama, bukan tugas hakim semata. Hakim yang bertugas memimpin jalannya persidangan hanya menjalankan amanah jabatan dan perintah undang-undang, sedangkan masyarakat pencari keadilan adalah pihak yang tengah memperjuangkan kebenaran dan keadilan di meja persidangan.